Kamis, 02 Mei 2013

Harapan Abu-abu di tanah Merah



Lupakan sejenak kesibukan aktifitas manusia modern dikota-kota besar Indonesia, tanyakan pada diri anda sekarang, hal yang dapat membuka pikiran anda tentang huruf abjad. Mungkin sebagian besar dari anda akan menjawab mudah dan gampang saat ditanya apa itu huruf abjad. Tapi pernahkah anda berfikir apakah huruf abjad itu dikenal semua masyarakat Indonesia ?. Mungkin anda akan berargumen bahwa semua warga Indonesia bisa membaca. Argumen anda tidaklah salah, mengingat bahwa jaman sudah modern dan kemajuan teknologi semakin mampu diterima masyarakat, tapi pada kenyataanya masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengenal apa itu huruf dan apa itu bahasa Indonesia. Apakah ini hasil dari pemerataan pendidikan di negara kita ?
Sering sekali kita dengar wajib belajar 12 tahun, tapi pada kenyataanya banyak sekali anak-anak Indonesia yang tidak mampu bersekolah dan belum mendapatkan pendidikan. Dilihat dari sebagian besar diantara mereka ternyata adalah buta aksara, Misalnya saja masyarakat di daerah terpencil di Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orangtua sebagian besar dari mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Bahkan tidak jarang masyarakat di daerah terpencil di Indonesia tidak tahu bahasa Indonesia, mereka hanya mampu berbicara menggunakan bahasa daerah mereka.
Mungkin anda akan terkejut dengan jawaban anak-anak pedalaman yang diwawancarai oleh seorang wartawan televisi swasta saat mereka ditanya cita-cita mereka, dengan polosnya anak-anak itu menjawab dengan bahasa daerah mereka yang kira-kira artinya “saya ingin menjadi sopir kapal terbang” jawaban yang penuh makna dan sedikit menggelitik mengingat bahwa “sopir kapal terbang (dibaca:pilot)” adalah sebuah profesi yang perlu pendidikan khusus, apakah kita tega membiarkan cita-cita tersebut hanya sebagai celetukan belaka ?.
Entah siapa yang salah dalam hal ini, sehingga masih ada masyarakat Indonesia yang buta aksara. Dilihat dari pendaftaran guru swasta menjadi PNS, sering sekali mereka tidak mau ditugaskan didaerah-daerah terpencil di Indonesia. Dari kejadian tersebut sudah sangat jelas bahwa mereka cenderung tidak mau mengajar didaerah terpelosok. Nah, bagaimana pemerataan pendidikan di Indonesia dapat tercapai dengan baik jika tidak ada yang mau menjadi bagian dari perubahan setiap daerah. Ada hal lain yang perlu kita kaji ulang dalam hal tenaga pendidik, sedikit sekali manusia yang terketuk nalurinya untuk sekedar mengenalkan huruf A, B, C bagi anak-anak di daerah yang tidak tersentuh hiruk pikuk modernisasi. Selain menyinggung masalah pendidkan ada hal yang perlu disaring kembali yaitu masalah pembangunan yang dilakukan  oleh pemerintah, tidak terelakkan bahwa selama ini pemerintah ibukota hanya membangun infrastuktur dikota-kota besar di Indonesia, kota-kota yang diprediksi memiliki potensi untuk dijadikan lahan bisnis, jarang sekali pemerintah melakukan perbaikan infrastuktur dan pembangunan daerah bagi daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hingga pada akhirnya masyarakat di daerah-daerah terpencil tersebut seakan terisolir dari kemajuan teknologi saat ini. Walaupun itu hanya listrik.
Ibaratkan saja kita adalah bagian dari masyarakat di daerah terpencil tersebut yang tidak pernah tahu apa itu huruf, tentu saja sebuah cita-cita hanya akan menjadi harapan abu-abu yang entah dapat tercapai atau tidak. Disini bukan saya memvonis bahwa sebuah cita-cita hanya untuk manusia dengan jenjang pendidikan tinggi, tapi saya ingin ada sebuah perubahan dari kajian masalah yang dialami anak-anak tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa bisa saja anak-anak tersebut adalah calon pemimpin kita di masa depan. Namun saya hanya ingin mempertanyakan seberapa sukses pemerataan pendidikan di Indonesia, dan ternyata pemerataan tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang yang tahu apa itu teknologi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;