Lupakan
sejenak kesibukan aktifitas manusia modern dikota-kota besar Indonesia, tanyakan
pada diri anda sekarang, hal yang dapat membuka pikiran anda tentang huruf
abjad. Mungkin sebagian besar dari anda akan menjawab mudah dan gampang saat
ditanya apa itu huruf abjad. Tapi pernahkah anda berfikir apakah huruf abjad
itu dikenal semua masyarakat Indonesia ?. Mungkin anda akan berargumen bahwa
semua warga Indonesia bisa membaca. Argumen anda tidaklah salah, mengingat
bahwa jaman sudah modern dan kemajuan teknologi semakin mampu diterima
masyarakat, tapi pada kenyataanya masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak
mengenal apa itu huruf dan apa itu bahasa Indonesia. Apakah ini hasil dari
pemerataan pendidikan di negara kita ?
Sering
sekali kita dengar wajib belajar 12 tahun, tapi pada kenyataanya banyak sekali
anak-anak Indonesia yang tidak mampu bersekolah dan belum mendapatkan
pendidikan. Dilihat dari sebagian besar diantara mereka ternyata adalah buta
aksara, Misalnya saja masyarakat di daerah terpencil di Indonesia, mulai dari
anak-anak hingga orangtua sebagian besar dari mereka tidak pernah merasakan
bagaimana rasanya bersekolah. Bahkan tidak jarang masyarakat di daerah terpencil
di Indonesia tidak tahu bahasa Indonesia, mereka hanya mampu berbicara
menggunakan bahasa daerah mereka.
Mungkin
anda akan terkejut dengan jawaban anak-anak pedalaman yang diwawancarai oleh
seorang wartawan televisi swasta saat mereka ditanya cita-cita mereka, dengan
polosnya anak-anak itu menjawab dengan bahasa daerah mereka yang kira-kira
artinya “saya ingin menjadi sopir kapal terbang” jawaban yang penuh makna dan
sedikit menggelitik mengingat bahwa “sopir kapal terbang (dibaca:pilot)” adalah sebuah profesi yang perlu pendidikan khusus,
apakah kita tega membiarkan cita-cita tersebut hanya sebagai celetukan belaka
?.
Entah siapa
yang salah dalam hal ini, sehingga masih ada masyarakat Indonesia yang buta
aksara. Dilihat dari pendaftaran guru swasta menjadi PNS, sering sekali mereka
tidak mau ditugaskan didaerah-daerah terpencil di Indonesia. Dari kejadian
tersebut sudah sangat jelas bahwa mereka cenderung tidak mau mengajar didaerah
terpelosok. Nah, bagaimana pemerataan pendidikan di Indonesia dapat tercapai
dengan baik jika tidak ada yang mau menjadi bagian dari perubahan setiap
daerah. Ada hal lain yang perlu kita kaji ulang dalam hal tenaga pendidik,
sedikit sekali manusia yang terketuk nalurinya untuk sekedar mengenalkan huruf
A, B, C bagi anak-anak di daerah yang tidak tersentuh hiruk pikuk modernisasi. Selain
menyinggung masalah pendidkan ada hal yang perlu disaring kembali yaitu masalah
pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah, tidak terelakkan bahwa selama ini pemerintah ibukota hanya
membangun infrastuktur dikota-kota besar di Indonesia, kota-kota yang
diprediksi memiliki potensi untuk dijadikan lahan bisnis, jarang sekali
pemerintah melakukan perbaikan infrastuktur dan pembangunan daerah bagi
daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hingga pada akhirnya masyarakat di
daerah-daerah terpencil tersebut seakan terisolir dari kemajuan teknologi saat
ini. Walaupun itu hanya listrik.
Ibaratkan
saja kita adalah bagian dari masyarakat di daerah terpencil tersebut yang tidak
pernah tahu apa itu huruf, tentu saja sebuah cita-cita hanya akan menjadi
harapan abu-abu yang entah dapat tercapai atau tidak. Disini bukan saya
memvonis bahwa sebuah cita-cita hanya untuk manusia dengan jenjang pendidikan
tinggi, tapi saya ingin ada sebuah perubahan dari kajian masalah yang dialami
anak-anak tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa bisa saja anak-anak
tersebut adalah calon pemimpin kita di masa depan. Namun saya hanya ingin
mempertanyakan seberapa sukses pemerataan pendidikan di Indonesia, dan ternyata
pemerataan tersebut hanya dinikmati oleh orang-orang yang tahu apa itu
teknologi.
0 komentar:
Posting Komentar